Bertandang ke Istana Dewi Anjani

Perjalanan ke Rinjani. Medan pendakian yang tak mudah, jangan terlalu membuang tenaga percuma, santai saja. Menjaga stamina dan mental agar tidak drop menjadi syarat utama supaya acara mendaki Gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini tetap seru. Apalagi kalau terbilang jarang olahraga.

Dewi Anjani adalah legenda setempat. Dia disebut sebagai penguasa gunung purba ini. Konon Anjani adalah keturunan Raja Selaparang hasil pernikahan Raja dengan mahkluk halus yang bermukim di gunung Rinjani. Di Gunung ini, Raja memohon hujan guna mengatasi kekeringan panjang di daerah kekuasaannya. Sampai saat ini masyarakat suku Sasak dan Hindu Dharma di pulau Lombok masih melakukan ritual Mulang Pekelem, ritual memohon hujan kepada Sang Dewi.

Mobil jemputan langsung mengantar kami ke Desa Sembalun. Sebuah desa kecil yang berlokasi di sebelah utara kaki Gunung Rinjani. Desa kecil yang indah di ketinggian sekitar 1.156 m ini menyuguhkan pemandangan alam yang indah sekaligus menjadi salah satu jalur populer titik awal pendakian ke Gunung Rinjani (3.726 m dpl). Ini adalah desa terakhir sebelum masuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Desa ini kalau dipikir-pikir posisinya seperti berada didalam mangkuk besar yang dikelilingi perbukitan hijau. Sungguh memukau. Setelah hampir dua jam perjalanan, kami tiba di desa dan langsung bertemu dengan kawan-kawan dari Community Development Centre. Merekalah yang mengatur seluruh perjalanan pendakian, mulai dari menyediakan guide, porter dan seluruh logistik yang diperlukan. Porter juga menjamin makan, minum sampai tenda untuk tidur. Mereka diberi upah Rp.125.000 (porter) dan Rp.150.000 ( guide).

Dari atas bukit kami bisa melihat indahnya Desa Sembalun dengan hamparan sawah yang luas serta tentu saja, Rinjani. Itu gunung yang akan kami daki menjulang tinggi, besar dan gagah, bikin hati agak ciut.

Susuri Savana Tak Bertepi

Ada dua jalur pendakian menuju Rinjani, melalui Senaru dan Sembalun. Hasil baca sana sini, kebanyakan pendaki memulai pendakian dari rute Sembalun dan mengakhiri pendakian di Senaru. Desa Senaru berada di ketinggian 600m dpl sementara desa Sembalun Lawang di 1.156m dpl. Artinya, melalui Sembalun bisa menghemat hampir 600 meter ketinggian, treknya pun jauh lebih landai. Syaratnya, harus kuat dengan cuaca panas karena bakal melalui padang savana yang terik. Sementara Senaru meski teduh, tanjakannya hampir tanpa jeda.

Sembalun menjadi pilihan kami. Tentu karena treknya yang landai cocok untuk pendaki amatiran seperti kami. Selain itu, kami juga penasaran dengan kecantikan savana yang tersohor itu.

Pukul 6 pagi kami sudah sibuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pendakian selama 3 hari 2 malam di Rinjani. Berikutnya adalah mendaftarkan diri di kantor Taman Nasional Gunung Rinjani. Turis lokal seperti kami kena tiket masuk seharga Rp.15.000 sementara turis asing dikenakan Rp.150.000.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 8 pagi dengan penuh semangat.  Enam orang porter dan satu pemandu menemani perjalanan kami. Hamparan savanna luas menyambut kami. Boleh dibilang jarang terdapat jalan menanjak. Tapi lama kelamaan savana ini seperti tak ada ujungnya. Di savanna ini nyaris tak ada pohon besar yang cukup rindang untuk sekedar berteduh dari sengatan sinar matahari.  Jangan mengeluh. Dibanding kami yang hanya membawa backpack, para porter itu memanggul beban sekitar 25 kilo menyusuri savana maha luas ini. Mereka masih bisa tersenyum.

Ok, ini ujian pertama Rinjani.  4 jam berlalu, masih savanna. Makin siang makin terasa panasnya berjalan diatas padang rumput. Tapi jujur, savana ini memang sungguh indah. Pos 1 dan 2 sudah dilewati. Stamina mulai terkuras sementara rasanya pendakian belum lagi dimulai. Kami berhenti di pos ekstra. Disini ada sumber air. Porter menyiapkan makan siang. Menghabiskan nasi, lauk dan sayur di piring tak membutuhkan waktu lama, kami betul-betul lapar. Pukul 13.30 kami tinggalkan pos untuk menuju ke Pelawangan.

7 Bukit ke Pelawangan

Menyusuri savanna sejauh 6 kilometer hingga Pos 3 di ketinggian 2.631 mdpl ternyata belum seberapa. Setelah pos 3 terlewati, ujian lain rupanya sudah menunggu. Hamparan savana mulai digantikan dengan perbukitan. Jalan mulai menanjak dengan kemiringan bervariasi 60 hingga 45 derajat. Paha, lutut, betis dan mental betul-betul diuji disini. Setiap menengok keatas rasanya kami ingin cepat sampai ke ujungnya. Tapi begitu sampai diatas, bukit lainnya sudah menunggu untuk didaki. Sebanyak 7 bukit harus dilewati untuk sampai di Pelawangan. Untungnya kami punya pemandu jalan yang tidak bosan melemparkan lawakan lucu sepanjang jalan menanjak, meski kadang untuk tertawa saja rasanya sayang karena dapat membuang energi percuma.

Bukan hanya kami yang penasaran setengah mati dengan Rinjani yang kabarnya memiliki panaroma paling bagus di antara gunung-gunung lainnya di Indonesia. Banyak turis asing yang berpapasan dengan kami dijalan, mereka baru selesai mendaki. Dibelakang saat itu kebetulan ada 20an orang turis asal Singapura menyusul. Tentu saja kami persilahkan untuk jalan lebih dulu rombongan itu. Ini bukan karena etika atau bersopan santun dalam pendakian, tapi sebetulnya adalah alasan supaya kami bisa berhenti sejenak meluruskan kaki. Pokoknya setiap ada rombongan lain menyusul dibelakang, dengan senang hati kami persilahkan mereka untuk jalan duluan.

Di bukit ke 7, puncak Rinjani mulai nampak di sebelah kiri. “Itu yang membentuk angka 3 terbalik harus dilewati dulu untuk sampai puncaknya. Tidak gampang. Naik dua langkah turun satu langkah.” Banyak tulisan di internet menceritakan soal itu. Tapi bahwa lereng berpasir itu sangat curam tanpa satupun pohon disana bikin lutut lemas duluan.

Setelah lebih dari 10 jam perjalanan melewati savana dan perbukitan, sekitar pukul 6 sore kami tiba di Pelawangan. Lelah perjalananan menempuh jarak sejauh 13,5 kilometer dengan beda elevasi 1.600 meter lumayan terbayar. Kami masih sempat menikmati sisa matahari terbenam dari atas Rinjani sambil menselonjorkan kaki ditanah.

Pelawangan berada diketinggian +/- 2.700 mdpl. Kami masih harus jalan 45 menit lagi mencapai tanah yang agak lapang untuk mendirikan tenda. Meski agak landai, jalan setapak dengan jurang dikiri jalan bikin kami masih harus ekstra waspada. Ada belasan tenda pendaki lainnya yang sudah berdiri lebih dulu. Sama seperti kami, mereka ingin menjajal summit attack dini hari atau turun ke danau Segara Anak besok pagi.Danau Segara Anak

 

Perlahan suhu dibibir punggungan Rinjani ini turun ke 6 derajat Celcius dengan angin yang menderu keras. Tak banyak yang bisa dilakukan. Saya bahkan tak berani makan diluar tenda. Meski langit cerah penuh bintang, malam itu kami memilih untuk tidur lebih awal.

Pesona Kaldera Purba

Hanya satu kata untuk menggambarkan Rinjani pagi hari di Pelawangan. Cantik. Sambil menyeruput teh, perhatian kami tersedot jauh kebawah ketempat kaldera purba berada. Serangkaian letusan besar pernah terjadi membentuk kaldera yang kini dinamai Danau Segara Anak. Pagi itu danau menampakkan warna gradasi biru kehijauan dengan airnya yang tenang. Danau itu seperti memanggil kami untuk segera turun. “Segara Anakan” adalah bukti geologi yang hebat. Ini ground zero ledakan abad 13 yang memangkas rinjani dari 5.000 meter jadi 3.726 meter”, cerita Santoso. Bertambah saja rasa kagum dengan keelokan pemandangan gunung ini.

Segera setelah makan siang, kami menuruni bukit, pelan-pelan, biar lambat asal selamat. Bukan hanya takut terpeleset, kaki ini harus dijaga betul agar tidak terkilir. Keseleo sedikit saja bisa repot urusan sampai pulang nanti. Meniti turunan terjal bukan perkara mudah. Apalagi kami sempat mendapat kabar soal turis Australia yang terjatuh di turunan jalur ke danau hingga tulang iganya patah. Diperjalanan mendaki bukit kemarin kami sempat papasan dengan tim evakuasi yang membawa 2 batang bambu untuk dijadikan tandu darurat mengangkat turis asing itu. Evakuasi di gunung yang punya medan berat begini tentu tak mudah dan cepat. Turis asing itu harus tinggal dulu semalam di kamp darurat sebelum bisa ditandu dan dibawa ke desa Sembalun untuk mendapatkan perawatan. Jika tak ada rumah sakit memadai di desa, perlu waktu sekitar 3 jam lagi untuk bisa sampai ke rumah sakit di kota.

Meski hati gentar, hasrat untuk menikmati danau indah itu tetap tak bisa dibendung. Kuncinya hati-hati. Setelah turun 700 meter, danau mulai kelihatan.  Sekali lagi tak mudah. Jam 4 sore kami baru bisa sampai di tepi danau.  Cuaca cerah sore itu langsung kami manfaatkan untuk menceburkan diri ke danau, mandi atau sekedar berendam menjajal dinginnya air danau. Sementara disisi lainnya rombongan pendaki  lain mengabiskan sore dengan memancing. Kabarnya banyak terdapat ikan mas dan mujair di Segara.

Puas main air, kami menikmati suguhan pemandangan dibibir danau,  terpesona dengan Gunung Api Barujari dan Gunung Rombongan yang kini telah mencapai ketinggian sekitar hampir 2.400 mdpl. Anak Gunung Rinjani ini dalam tahap pertumbuhan. Gunung kecil ini terakhir meletus sepanjang Mei 2009, setelah sebelumnya meletus pula tahun 2004, 1994, 1966 dan 1944 sekaligus pembentukannya.  Kita tak pernah tahu kapan dia akan mencapai tahap penghancuran diri.

Malam hari dibibir danau kami habiskan dengan duduk saja ngobrol sambil menikmati tumpahan bintang dilangit. Milyaran bintang itu tak pernah hadir dilangit Jakarta.

Dilokasi, pemandu mengingatkan untuk tidak meninggalkan tenda dalam keadaan terbuka atau menaruh barang-barang diluar tenda, karena banyak babi. Malam di Segara Anak tak sedingin di Pelawangan. Rasa lelah dan kaki pegal mendorong satu persatu dari kami masuk tenda beristirahat. Apalagi terbayang perjalanan besok pagi yang harus mendaki dinding Rinjani berbatu cadas. Tapi rupanya urusan babi belum selesai. Baru pukul 3 pagi suara babi mengendus cukup keras terdengar tepat di atas kepala. Untunglah tenda tertutup rapi.

 

Rinjani Bukan Mimpi

Kamis pagi setelah sarapan, kami berkemas, siap meninggalkan danau. Kami naik lagi 700 meter, kadang harus merangkak diatas bebatuan terjal dengan pandangan terhalang kabut tebal. Danau sudah jauh dibawah. Kalau sesekali menengok kebelakang, saya jadi heran dari mana kami dapat kemampuan memanjat dinding curam dan cadas barusan. Tak bisa ditawar, 7 bukit dan savanna harus kembali dilalui. Masih perlu waspada jangan sampai kaki terkilir. Jalan berpasir dan batu kerikil bikin kaki gampang terpeleset. Tongkat sangat membantu sebab nyaris sulit menemukan pohon besar untuk sekedar menahan badan ketika jatuh.  Kami jalan ibarat kepiting, miring-miring, dengkul mulai sakit menahan beban badan. Sementara menyusul kami, porter turun sambil berlari seperti tanpa beban saja.

Hari mulai malam ketika kami tiba di basecamp CDC. Perlu waktu 13 jam untuk sampai ke Desa Sembalun. 3 hari 2 malam di Rinjani memang seperti mimpi. Tapi sakit di paha, dengkul dan betis menjadi bukti ini bukan mimpi..

Sayangnya kami tak banyak menjumpai flora atau fauna seperti yang disebutkan dalam situs Kementerian Kehutanan soal Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Kami hanya melihat hamparan rumput, pohon bakbakan, cemara, cantigi dan edelweiss yang belum masuk waktu berbunga. Ada anggrek yang kami jumpai diperjalanan, tapi tak jelas masuk jenis apa. Dikawasan ini kabarnya ada 2 jenis anggrek endemik yaitu Perisstylus rintjaniensis dan P. lombokensis. Meski kabarnya jenis satwa juga cukup beragam, kami hanya jumpa monyet lapar di Pelawangan. Mereka berhasil merebut roti sarapan pagi langsung dari piringnya. Selebihnya, suara ayam hutan bersahutan dikejauhan menemani kami kembali ke Desa Sembalun.

Yang menarik dan patut dicatat, rasanya kami tak meninggalkan sampah apapun diatas. Porter membawanya kembali turun ke desa. Perkilo sampah dihargai Rp. 25.000. Cara unik ini efektif menjaga gunung tetap bersih. Perlu ditiru oleh Balai Taman Nasional lainnya di Indonesia.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *